Bangunan unik dengan dominasi warna merah, arsitektur khas yang hanya bisa di temui di beberapa tempat saja. Ya, tempat tersebut adalah kelenteng atau vihara.
Ini kali pertama saya mengunjungi kelenteng, dan kelenteng yang saya datangi adalah Kelenteng Satya Budhi yang berada di dalam Pecinan China daerah Cibadak . Suasanya ramai saat minggu kami bertandang kesana, oya saya ke sana bersama komunitas Gambong Voorit, sebuah komunitas pecinta sejarah di kota Priangan.

Kelenteng Satya Budhi, dari kejauhan bangunan unik ini memang sudah menyita perhatian, pintu gerbang berhiaskan Simbol Suatika, yang berarti kebahagiaan dan kebahagiaan. Hal tersebut memang kental sekali dengan kebudayaan orang budhis.
Yang tak kalah keren adalah kita akan bertemu dengan mural tentang kehidupan yang berisi mengenai dewa-dewa yang di buat langsung oleh seniman Tiongkok 130 tahun yang lalu, emang artistik banget dan detail banget.
Berkunjung ke sini, kita akan menemukan 3 vihara yaitu : Vihara Samudera Bhakti, Vihara Satya Budhi dan Vihara Budha Gaya, arsitekturnya yang keren ini membungkam kita semua. Kami hanya berdecak kagum dengan tiang yang di pahat dengan bentuk naga, juga detailnya kayu di bagian atas bangunan. Yang juga kemudian kita di beritahu, bahwa animer alias tukang bangunan yang mengerjakan ini datang langsung dari Tiongkok, China.


Bangunan Kelenteng sendiri memiliki arti yang juga cukup unik, atapnya bergelombang melambangkan air, runcing di ujungnya melambangkan perahu. Benar, sebagai pengingat bahwa nenek moyang mereka mengarungi laut cina selatan untuk sampai ke Indonesia. Di atas gentengnya ada pula pahatan naga yang saling berhadapan.
Sejarah Kelenteng Satya Budhi
Bertemu langsung dengan keturunan pendiri kelenteng, kami sangat senang sekali.
Adalah Pak Jimmy yang merupakan generasi ke 4, dan pak Sukandi yang merupakan generasi ke-5 pendiri kelenteng ini. Pendirinya adalah asli orang Tiongkok yang bernama Tan Hay Hap, dengan tujuan ingin memiliki tempat berdoa kepada leluhur muncul lah ide membangun kelenteng ini.


Tan Hay Hap ini pun merupakan orang terkaya di Bandung saat itu, saking besar dan sukses bisnis menjual beras,beliau di perbolehkan membuat lintasan kereta api sendiri pada zaman tersebut untuk memudahkan pendistribusia beras.
Pak Jimmy dan Pak Sukandi tentu bangga sekali, leluhur mereka Tan Hay Hap adalah seorang yang sangat berpengaruh juga berjasa. Ia mengusahakan berdirinya kelenteng Satya Budhi.
Salutnya,menurut cerita dari keduanya anak dari Tan Hay Hap yaitu Tan Yun Tong ikut andil dalam pemeliharaan kelenteng, terbukti dengan cerita bahwa renovasi-renovasi bangunan vihara di lakukan oleh anak dari Tan Hay Hap, Tan Yun Yong.
Menengok Ke Dalam Vihara Satya Budhi

Selepas diskusi kecil, kami di perbolehkan untuk masuk ke dalam Vihara, dengan ketentuan tidak mengganggu yang sedang beribadah pastinya.
Saya pribadi kagum dengan bangunan ini, tak bisa rasanya berhenti menatap lekat-lekat, tidak percaya bahwa bangunan yang kokoh berdiri dan indah ini di bangun pada tahun 1885, bangunan vihara ini masih seperti baru saking bagusnya pemeliharaan. Ukirannya masih bersih dan sangat detail terlihat.
Aroma dupa semerbak mengitari kami yang sedang berkumpul, bergantian kami melihat beberapa umat bergantian berdoa dengan dupa menyala.
Di depan Kelenteng Satya Budhi ini, terdapat pula rupa dewa Kwan Kong, adalah dewa perang yang di percaya menjaga perdamaian dan menjaga umat yang masuk ke dalam vihara. Di dalam vihara kita bisa menemukan banyak sekali lilin dan tentu saja rupa dewa agung lainnya. Umat yang berdoa dan hendak membawa persembahan, dipersilahkan. Dalam bentuk bunga atau buah saja, karena sejatinya dalam agama budha, kasih sayang sangat di utamakan. Maka persembahan dalam bentuk hewan tidak diperkenankan.

Lilin-lilin merah menyala, saya pernah melihatnya sekali saat mengikuti sebuah acara pernikahan budha, ada perasaan haru dan tenang.
Lilin – lilin ini akan bergantian di simpan di dalam oleh umat selepas mereka berdoa, lilin sendiri adalah simbol kebijaksanaan juga pengetahuan yang harus di miliki setiap orang.
Sedangkan menyalakan dupa adalah simbol dari penghormatan kepada dewa yang selalu menjaga dan memberi berkat.
Umat budha berdoa untuk kebahagiaan dan keselamatan. Umat budha percaya, bahagia adalah milik semua orang bahkan bagi mereka yang kekurangan sekalipun.
Vihara ini sudah tercantum di Heritage Bandung dan merupakan cagar budaya kelas A yang artinya tidak boleh di ganggu gugat.

Berkunjung ke Kelenteng adalah pengalaman yang menarik dari sisi perjalanan saya pribadi, mencuri pandang sisi peribadatan agama lain, melihat dan mendengar cerita masa lampau adalah sesuatu yang saya suka, banyak pelajaran, ilmu dan pengetahuan. Bertemu orang – orang baru, dengan cerita yang baru saya dengar, mendengar dan belajar menjadikan kita kaya. Berjalan menjadikan kita lebih bijaksana.
Siapa tau kapan lagi, saya akan bisa menengok lagi ke sini, dan duduk mendengarkan lagi. Melihat, mencatat dan berbagi lagi.
PS : Terima kasih kepada teh Ulu Bandung Diary dan Komunitas Gambong Voorit, see you when I see you.
Photo : Yasinta Astuti
The mind is everything. What you think you become
keponih.com
Bagus ya Viharanya. Pengen deh sesekali maen ke situ. Sering jadi tempat tujuan wisata juga, ya?
Tadi waktu awal lihat fotonya saya pikir ini Klenteng Tay Kek Sie di Semarang, sepintas hampir sama hehe. Saya juga suka berkunjung ke vihara, ngobrol dengan para penjaganya. Biasanya mereka menyimpan kisah-kisah yang menarik.
Menyenangkan memang lihat2 vihara gini, walau saya baru yang ke Haw Par Villa sih.
Wuah saya jadi pengen juga kesana.
Wuih masuk kelas A ya
Mesti disambangi nih lokasi yg punya sejarah kota bandung ini.
Tulisan yg menarik
Ijin berlangganan ya
wah keren sekali nich !
btw,, apakah orang selain dari cina boleh masuk melihat kesana ?
Bolee dong, saya juga boleh ini ke sini hehe
tapi di luar saja kayanya kalau hari biasa.